Membaca Dunia dari Fakultas Ilmu Budaya

 Saat pertama kali saya memasuki gedung Fakultas Ilmu Budaya, saya mengalami sedikit culture shock, saat ospek fakultas lebih tepatnya, disitu saya merasakan atmosfer yang ada di Fakultas Ilmu Budaya berbeda dengan fakultas-fakultas lain yang ada di Universitas Brawijaya. Saya merasakan kebebasan, kebahagiaan, dan penuh warna di dalamnya. 

Fakultas Ilmu Budaya terasa seperti rumah bagi orang-orang yang suka memikirkan hal-hal yang kadang dianggap “nggak penting” oleh dunia yang terlalu sibuk mengejar teknologi. Di sini, hal-hal kecil seperti bahasa, tradisi, atau cara orang tertawa di suatu daerah bisa menjadi bahan diskusi serius. Dan buat saya, itu justru yang membuat FIB unik. Di tempat ini, kita belajar bahwa budaya bukan sekadar masa lalu, tetapi sesuatu yang hidup, berubah, dan mempengaruhi cara kita memandang diri sendiri.

Yang menarik dari FIB adalah keberagaman manusia di dalamnya. Saya masih ingat betul pertama kali masuk kelas dan bertemu orang-orang dengan minat yang unik dan kadang tidak terduga. Ada teman yang bisa mengutip puisi dari penyair tahun 70-an tanpa salah titik koma. Ada juga yang hobinya menonton film sampai jam dua pagi untuk dianalisis besoknya. Semuanya punya caranya sendiri untuk membaca dunia, dan keberagaman itu membuat saya sadar bahwa budaya adalah ruang yang sangat luas untuk dieksplorasi.

Foto saat ospek fakultas

Belajar di FIB membuat saya lebih peka terhadap hal-hal yang dulu saya anggap sepele. Contohnya, cara orang menyapa, pilihan kata yang mereka pakai, makanan tradisional yang katanya sederhana padahal punya sejarah panjang, atau motif batik yang tak sekadar indah tetapi menyimpan narasi rumit tentang identitas dan kekuasaan. Makin lama saya belajar, makin saya sadar bahwa budaya tidak pernah benar-benar diam. Ia selalu bergerak, berubah, dan beradaptasi. Dan tugas kita di FIB bukan hanya mencatat perubahan itu, tetapi memahaminya, kadang bahkan merasakannya sendiri.

Namun, tentu saja belajar di FIB bukan perjalanan tanpa tantangan. Ada hari-hari ketika saya mendengar orang bertanya, “Lulus nanti kerja apa?” Atau komentar seperti, “Belajar budaya itu penting, tapi… apa bisa hidup dari itu?” Di momen seperti itu, saya sering tertawa kecil saja. Karena orang yang belum masuk ke dunia ini mungkin tidak akan paham bahwa kemampuan memahami manusia, membaca realitas sosial, dan merangkai makna dari hal-hal kecil itu adalah kemampuan yang sangat jarang dimiliki. Dunia memang maju dengan teknologi, tetapi tetap dijalankan oleh manusia. Dan selama manusia masih punya cerita, selalu ada ruang untuk orang-orang budaya.

Comments

Popular Posts