Menghabiskan Masa Muda di Malang
Berasal dari kota kecil yang tenang dan penuh dengan suasana damai, lalu berpindah ke kota besar yang sibuk dan padat, tentu menjadi pengalaman baru yang tidak bisa saya lupakan begitu saja. Ada banyak hal yang membuat saya merasa kagum, bingung, bahkan terkadang menggelengkan
kepala. Perubahan ritme kehidupan yang begitu cepat membuat saya sempat mengalami sedikit culture shock. Dari suasana yang biasanya sunyi dan santai, kini saya harus menyesuaikan diri dengan hiruk pikuk kendaraan, suara klakson yang bersahutan, dan orang-orang yang seolah selalu terburu-buru.
Sebenarnya, sebelum saya resmi merantau ke Malang, saya sudah cukup akrab dengan kota ini. Beberapa kali saya berkunjung ke rumah saudara di daerah Buring, sehingga saya tidak terlalu asing dengan suasananya. Namun, tinggal di Malang secara langsung ternyata memberikan pengalaman yang jauh berbeda dibanding sekadar berkunjung. Saat menjadi pendatang tetap, saya mulai benar-benar merasakan dinamika kota ini, mulai dari cuacanya, kebiasaan warganya, hingga gaya hidup yang terasa lebih cepat dan modern.
Satu hal yang paling menonjol dari Malang adalah kemacetannya. Dari dulu, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di kota ini sekitar tahun 2015, kata “macet” sudah menjadi bagian dari identitasnya. Daerah Pasar Gadang, Jalan Soekarno Hatta, hingga Sigura-gura, semuanya padat terutama di jam pulang kerja dan pulang sekolah, sekitar pukul empat hingga lima sore. Tidak jarang saya harus menahan kesabaran di tengah panasnya cuaca, sambil berharap kendaraan di depan segera bergerak. Tapi di sisi lain, saya juga belajar arti kesabaran dan bagaimana menyesuaikan diri dengan ritme kota yang lebih dinamis.
Selain lalu lintasnya yang padat, hal lain yang membuat saya terkesan adalah budaya nongkrong di kafe. Di kota kelahiran saya, Blitar, memang ada beberapa kafe, namun suasananya tidak seramai di Malang. Di sini, hampir di setiap sudut jalan saya bisa menemukan coffee shop dengan desain unik dan pengunjung yang selalu ramai. Bahkan hingga larut malam, suasana tetap hidup. Ada yang sekadar mengobrol santai bersama teman, ada pula yang menatap layar laptop dengan fokus, menandakan semangat anak muda Malang yang produktif. Kadang, saya sampai kesulitan mencari tempat duduk karena semua meja sudah penuh. Saya sendiri merupakan orang yang suka meng-explore cafe-cafe di Malang, terlihat dari beberapa foto yang saya input, foto tersebut merupakan foto saya saat sedang menikmati segelas kopi dengan kawan-kawan
Kini, setelah kurang lebih dua bulan tinggal di Malang, saya mulai merasa cukup nyaman dengan segala hiruk pikuknya. Walaupun sesekali rasa rindu terhadap kampung halaman muncul, saya belajar menikmati setiap detik perjalanan ini. Kota ini mengajarkan saya banyak hal: tentang kemandirian, tentang beradaptasi, dan tentang bagaimana menemukan kenyamanan di tempat baru. Meski Blitar akan selalu menjadi rumah pertama saya, Malang kini menjadi rumah kedua yang mengajarkan arti dewasa dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
Comments
Post a Comment